Friday, May 17, 2013

15 tahun pasca-reformasi, Indonesia menjadi lebih baik?

     Pertanyaan yang sudah pasti jawabannya : TIDAK!

     Siapa yang lupa dengan tragedi kerusuhan Mei 1998 (May 1998 Riots of Indonesia)? Tentu saja para korban tirani tidak lupa dengan kejadian tersebut, yang lupa hanyalah para pelaku kejahatan demokrasi pada saat itu dan orang-orang yang mendukungnya. Loh, kok masih ada saja ya yang berpihak pada yang lalim? Apalagi kebanyakan dari mereka adalah para pemuda, yang pada masa jayanya (mahasiswa -red) selalu berkoar-koar menyuarakan penuntasan penindakan kejahatan dan penegakkan keadilan di Indonesia. Kehidupan memang begitu, ibrata roda -roda yang selalu berputar pada porosnya, yang dulunya membela yang lemah namun keadaan berbalik justru saar ini mereka menyerang yang lemah, sedangkan mereka tidak sadar bahwa posisi mereka tak ubahnya sebuah poros roda yang selalu berada di tengah-tengah realita, yang tidak jelas dia berpihak kepada yang di atas atau yang di bawah.

     Namun itulah kondisi nyata saat ini, itu semua dilakukan hanya demi kepentingan pribadi semata, yang sudah tertaklukan oleh harta dan tahta, tak jarang juga yang tertaklukan oleh wanita. Kembali pada Mei 1998, siapa yang harus bertanggung jawab? Siapa yang harus ditanggungjawabi? Apa dampaknya untuk Indonesia saat ini? Apakah justru reformasi pada saat itu berbuah manis seperti yang diharapkan? Apakah keadilan dapat ditegakkan, ataukah kemiskinan dapat dituntaskan, atau bahkan apakah Indonesia menjadi sejahtera?

     Untuk insiden itu, banyak pihak yang disalahkan dalam pembentukan awal mula sistem reformasi dan demokrasi di Indonesia, tidak lepas dari mantan presiden RI pada saat itu, Soeharto dan juga para antek-antek militernya, yang memang mau tak mau mereka harus membela presidennya, sesuai dengan sumpah jabatan yang telah mereka ucapkan. Tapi apakah sebuah sumpah itu harus selalu dipatuhi ketika esensi sumpah itu bertentangan dengan yang memberi sumpah? #TanyaKenapa

     Lalu, siapa yang punya hak untuk ditanggungjawabi? Rakyat kah? Benar sekali! Tapi apakah semua hak rakyat sudah terpenuhi pasca-reformasi tersebut? Lihatlah keadaan, masih banyak mereka-mereka yang hanya mampu meneguk ludahnya saat melihat orang lain disekitarnya hidup sejahtera. Kemiskinan memang hal yang sudah lumrah dalam bermasyarakat di Indonesia, tapi yang lebih parah adalah kesenjangan di antara keduanya. Kesenjangan ekonomi adalah sesuatu yang bisa menimbulkan mata rantai yang tak bisa putus, artinya kesenjangan ekonomi bisa menyebabkan sesuatu yang fatal; pencurian, perampokan, kerusuhan hingga pembunuhan. Lahirnya era reformasi ternyata hanya mereformasi sistem pemerintahan saja, itupun malah ke arah yang lebih buruk, hingga melupakan pemerataan pembangunan. Bukan hanya antara kota dan daerah, tapi juga di internal kota pun masih banyak kesenjangan yang timbul karena pemerintah "tidak melihat" mereka yang terpinggirkan.

     Bukan hanya itu dampak dari reformasi, lahirnya era yang mengedepankan "sistem semena-mena" ini tentunya merugikan pihak yang seharusnya benar, mereka semakin dibuat seakan-akan terbuang dari dalam sistem. Lihat saja, sejak tahun-tahun belakangan ini makin marak saja tindak korupsi dari para pejabat kotor. Mereka bekerja bukan hanya untuk menafkahi hidup mereka, akan tetapi mereka bekerja untuk memiskinkan bangsa. Uang siapa? Itu uang rakyat loh! Tapi apa langkah kongkritnya? Pemerintah hanya terlalu banyak bicara dan mencari muka, bertindak tegas namun hanya setengah-setengah, tidak tuntas dan menyebabkan kasus korupsi semakin bertumpuk. Jadi ya, belum menimbulkan efek jera kepada para koruptor dan juga memancing para pejabat kotor lainnya untuk berbuat serupa. Alhasil, bangsa kita semakin miskin di tengah berlimpahnya sumber daya yang ada.

     Kemudian juga, lahirnya era reformasi dan demokrasi di Indonesia ini ternyata pada prakteknya tidak seperti apa yang dulu dicita-citakan oleh pejuang demokrasi, membentuk tatanan pemerinthan yang bersih, jujur dan adil. Karena apa? Begini, boleh saja pada tahun 1998 banyak mahasiswa dan rakyat yang mati-matian turun ke jalan untuk membela negara, tapi apakah saat ini balasan yang diberikan oleh penerusnya sudah setimpal? Lihat saja, mahasiswa dan pemuda saat ini bergerak bukan dari hati nurani mereka, mereka bergerak karena digerakkan oleh uang, uang yang diambil secara kotor oleh pejabat atau sosok yang mereka elu-elukan. Jadi ya percuma saja jika pada masanya mereka dengan lantang meneriakkan dan bersuara untuk penegakkan keadilan, tapi tak lama berselang justru mereka yang menjadi orang di balik suksesnya para "pencuri" tersebut. Inkonsistensi para pemuda dan mahasiswa saat ini memang sangat memprihatinkan, mereka rela membela yang salah hanya lagi-lagi karena adanya kesenjangan yang tumbuh subur di kehidupan mereka. Mencuatnya rasa ingin memenuhi kebutuhan hidup memaksa mereka "menelan ludah sendiri" yang secara sadar atau tidak sadar mereka telah berbuat kejam dan ketidak-adilan kepada rakyat yang tak bersalah.

     Untuk itulah, bangsa ini sangat perlu penanaman akhlak dan moral kemanusiaan dalam setiap hembusan nafas mereka, agar mereka sadar apa yang sejatinya menjadi tugas mereka untuk membenahi tatanan negara yang hampir hancur lebur ini. Diperlukan pengawasan dan pendidikan yang ketat dan fleksibel agar pesan yang disampaikan bisa diresapi dengan benar oleh para penerus bangsa. Diharapkan, dengan adanya penanaman akhlak dan moral kemanusiaan tersebut dapat mencegah kembalinya timbul tragedi Trisakti dan tragedi Mei 1998 di masa kini dan selanjutnya. Menciptakan kehidupan yang harmonis, aman, nyaman dan sejahtera, serta berjalan dalam kesetaraan yang saling mengisi satu sama lain. Juga diharapkan mereka keluar dari jalan kesesatan yang menuntun mereka ke sikap memihak kepada yang salah, harus diberikan kesadaran bahwa yang mereka agungkan itu adalah mereka yang dulu dan nantinya berfungsi sebagai perusak bangsa dan negara.

#Sekian.

No comments:

Post a Comment