Friday, March 22, 2013

Politik Paketan

Politik paketan? Maksudnya? (Iya sebentar, ini lagi mau dibahas kok!)

     Akhir-akhir ini pernah terjadi beberapa kasus munculnya gap antara pemimpin dan wakilnya, sehingga menyebabkan mereka hanya "romantis" di awal namun berakibat kisruh di tengah dan akhir masa akad jabatan mereka. Contoh yang paling santer dibicarakan oleh media adalah saat wakil bupati Garut, Dicky Chandra yang menjadi wakil dari bupati Garut yang paling fenomenal pada saat itu, Aceng Fikri. Selain itu, ada juga yang paling paling paling fenomenal, yakni saat mundurnya Prijanto sebagai wakil gubernur DKI Jakarta, yang pada saat itu gubernurnya masih dijabat oleh Fauzi Bowo.
      Penyebab mundurnya wakil dari atasannya ada berbagai macam, diantaranya adalah seperti yang terjadi pada Dicky Chandra. Hanya berlatang alasan klasik, sudah tidak ada lagi kecocokan di antara mereka. Seperti halnya pada Prijanto yang merasa tidak cocok dengan pasangannya, Fauzi Bowo, di masa-masa akhir jabatannya yang tinggal 11 bulan lagi. Andai mereka tahu, menjadi pasangan pemimpin itu adalah layaknya pasangan suami-istri yang melakukan akad pernikahan di hadapan penghulu dan disaksikan oleh Tuhan. Perceraian adalah hal yang dibenci oleh Tuhan, serupa dengan pisahnya pemimpin dengan wakilnya, berarti hal tersebut adalah bentuk pelepasan tanggung jawab yang telah diamanahkan oleh masyarakat. Pelepasan tanggung jawab, walaupun secara resmi namun tetap saja hal itu adalah tak lazim.
     Logikanya begini, kalau mereka tiba-tiba timbul ketidakcocokan, mengapa mereka mau berpasangan di awalnya. Nah itulah yang menjadi tanda tanya besar di pikiran masyarakat dan jajaran stafnya. Seakan yang bisa menjadi jawabannya adalah mereka berpasangan hanya karena tanggung jawab partai, bukan bentuk tanggung jawam sebagai seorang pemimpin. Lagi-lagi, masalah partai adalah hal yang tak akan bisa pernah lepas dari sosok yang diusungnya sebagai pemimpin dan wakilnya. Perasaan timbul hutang atau suatu ikatan agar tetap mematuhi partai walaupun mereka telah menjadi milik rakyat seutuhnya. Masalah partai adalah urusan lain, jangan pernah atau tidak boleh dicampur adukan dengan urusan kepemimpinan yang telah diamanahkan. Kebanyakan saat inil, para pemimpin dan wakilnya selalu bagai sapi yang dicucuk hidunya oleh partai, apapun yang diperintah oleh partai maka harus dilaksanakan, tetapi justru melupakan tanggung jawabnya sebagai pemenuh aspirasi rakyat. Intinya, lupakan sejenak urusan partai jika seseorang terpilih menjadi pemimpin dan wakil pemimpin untuk suatu wilayah tertentu, tetap hanya pikirkan rakyat karena rakyat menaruh harapan pada mereka.
     Untuk itu, memang jalan terbaik jika ingin menjadi pemimpin dan wakil pemimpin haruslah berasal dari "atap" yang sama, jika ingin dari partai, maka harus dari partai yang sama. Dukungan dari partai lain sah saja,  namun hanya untuk dukungan suara dan perjanjian jabatan, itu hal yang lumrah asalkan tidak ada janji sebagai wakil, karena hal itu bisa menimbulakn reaksi yang alamiah pada saat roda pemerintahan berjalan. Menyatukan visi dan misi bukan hanya sekedar dari calon pemimpin dan wakilnya, namun jika berbeda partai maka akan sama visi misinya akan tetapi tetap berbeda "perintah" dari partainya masing-masing. Ibarat rumah tangga, kesepahaman agama bisa disebut sebagai partai, jika calon suami dan istri berbeda agama mereka bisa tetap disatukan, namun tetap akan menjadi hal yang masing-masing dalam perintah dari agamnya. Hal tersebut pun bisa berakibat menumbuhkan rasa kebingungan dari anaknya, mau kemana atau mau ikut agama mana mereka nantinya? Jika dari usia dini saja hanya ditanamkan dari kedua agama, bukan dari satu agama pasti dari orang tuanya. Sama halnya dengan pemerintahan, jika pemimpin dan wakilnya berasal dari partai yang berbeda, maka  jajaran staf dan rakyatnya akan menjadi bingung, sebenarnya mereka pada saat pemilihan lalu itu mendukung manusia atau partai, karena saat sudah terpilih malah pemimpin dan wakilnya malah menjalankan amanah partai, bukan amanah rakyat. Alhasil, akan timbul banyak reaksi, mulai dari rasa curiga dan tidak percaya, hingga maraknya demonstrasi terhadap kinerja pemimpin dan wakil yang memang tidak sejalan sebagaimana mestinya yang diakibatkan berbedanya visi dan misi dari partai pengusung mereka masing-masing.
     Teringat baru-baru ini pernyataan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi yang menyatakan bahwa sepertinya memang di Indonesia itu tidak perlu ada wakil pemimpin, karena memang menurut hemat saya, sosok wakil itu hanya bertugas sebagai pengganti dikala sang pemimpin berhalangan untuk hadir dalam suatu acara. Bahkan bisa dibilang sosok wakil adalah hanya bertugas sebagai pemanis dalam jalannya roda pemerintahan, dan lebih parahnya lagi sosok wakil hanyalah penarik suara saat pemilihan berlangsung, karena tak jarang sosok wakil lebih disegani dan lebih berjasa dibanding sosok pemimpinnya. Padahal, jika hanya bertugas sebagai pengganti, hal tersebut bisa dilaksanakan oleh dinas-dinas yang ada kaitannya dengan suatu acara tersebut, misalkan jika ada acara kepemudaan dan olahraga, maka hanya perwakilan dinas olahraga dan pemuda (disorda) pun sudah cukup, bahkan lebih dari cukup karena perwakilan tersebut lebih menguasai tema dari acara itu.
     Gamawan Fauzi juga menyatakan bahwa ia pernah menjabat sebagai kepala sekolah, dan ia tidak menunjuk seorang pun untuk menjadi wakilnya, dan roda kepemimpinan pun tetap berjalan lancar. Menurutnya juga, saat ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sedang dalam garapan usulan rancangan undang-undang tentang jabatan dalam sebuah kepemimpinan, seperti dalam lingkup bupati, walikota dan gubernur. Hal tersebut sedang diupayakan oleh Kemendagri kepada DPR RI dan berharap usulan tersebut bisa dikabulkan.
     Semoga saja hal tersebut bisa segera direalisasikan oleh DPR, agar bisa meminimalisir timbulnya aksi-aksi anarki dari pendukung mereka yang telah kecewa dengan kinerja pemimpin karena tidak sesuai dengan rakyatnya. Lagipula jia hal tersebut bisa dilaksanakn, otomatis bisa menghemat APBD untuk menggaji para pejabat setempatnya, kan? Jadi APBD bisa difokuskan untuk pembangunan daerah, bukan lagi dikeluarkan untuk hal yang absurd seperti untuk menggaji wakil pemimpin. Karena jumlah gaji seorang wakil tidak terlalu sebanding dengan kinerjanya yang hanya sebagai wakil.

*Terinspirasi dari tayangan talkshow 811 Show Metro TV pada Kamis, 21 Maret 2013 dengan narasumber Gamawan Fauzi (Mendagri) dan J. Kristiadi (Pengamat Politik CSIS) yang membahas tentang dilema kinerja wakil pemimpin suatu daerah.

Thursday, March 21, 2013

Politik Bawang 2013

Sumber gambar : http://reevy.files.wordpress.com/2012/05/garlic-onion.jpg
     Hayoooo, siapa yang juga ngerasa kalo sekarang-sekarang ini porsi bawang di setiap hidangan jajanan lagi agak berkurang atau bahkan lagi kosong? *SAYA!. Jadi begini, ini pengalaman nyata saya loh, baru saya dapati tanggal 19 Maret 2013 lalu. Ceritanya saya sedang di kampus untuk beberapa keperluan, sedari siang saya tiba di kampus tercinta hingga kemudian sekitar jam 14.00 WIB saya sudah mulai merasa lapar. Saya pun lantas mengajak teman-teman saya untuk makan di warung nasi dekat kampus, warung nasi yang pemiliknya kami sebut dengan panggilan "Mpok". Seperti biasa, kami akan di sana hingga senja menyapa, yaaah sekedar untuk melepas beban pikiran dan memanjakan lambung tersayang.
      Setibanya kami di sana, saya adalah orang pertama yang lantas memesan 1 porsi nasi uduk dengan beberapa lauknya. Namun ada yang tidak biasa ternyata :
Saya (S) : "Mpoook, mpoook.. *lagi sholat kali nih yaa*".
S : "Mpoook.."
Mpok (M) : "Iyaaaaa"
S : "Mpok, nasi uduk ada gak?"
M : "Ada nih, mau pake apaan? *sembari nyendokin nasi ke dalam piring"
S : "Biasa, mpok. Pake telor dipedesin sama perkedel, pakein kuah semurnya dikit ya"
M : "Sip.. Eh tapi ini lagi kaga ada bawang nih ya, gak apa-apa kan?"
S : "Hahaha iya mpok, kaga papa, lagi mahal juga, mpok?"
M : "Iya nih, udah dari kemarenan"
S : " Iya dah mpok. Oh iya, biasa ya minta batu es"
M : "Oke"
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
     Tuh, dari kejadian nyata di atas, ternyata harga mahal bawang sudah mulai menjalar ke segala penjuru, hingga ke perbatasan. (Karena Ciputat adalah daerah perbatasan antara Jakarta dan Banten). Padahal yang kita semua ketahui, bawang adalah tipikal satu benda yang memang sepele, tapi jika sedang situasi seperti 2013 saat ini pasti imbas naiknya harga bawang menusuk kalbu dan menguras isi dompet para kaum bapak dan kaum ibu. Mereka harus mengeluarkan sejumlah uang yang memang terhitung besar, kisaran Rp. 65.000,- hingga Rp. 100.000,- per kilogram bawang, baik itu bawang merah ataupun bawang putih.
     Bawang merupakan salah satu jenis bumbu yang memang semua jenis bumbu adalah sepele namun memiliki pengaruh besar terhadap kualitas masakan Indonesia. Ternyata benar, ada nasehat yang berbunyi "segala sesuatu pasti baru terasa kehadirannya jika sesuatu tersebut sudah hilang". Bawang goreng ataupun bawang putih memang kerap digunakan sebagai bumbu masak dan taburan untuk berbagai jenis hidangan, walaupun tidak menjadi sebuah kewajiban tetapi istilah "tidak ada bawang, tidak rame" memang benar terbukti adanya. Bawang goreng memang memberi kenikmatan tersendiri pada sejumlah hidangan utama, seperti nasi uduk yang terjadi pada kisah nyata saya di atas. Tapi tanpa adanya bawang goreng, nasi uduk terasa hambar dan kurang greget.
     Sekarang kita menuju topik mengapa harga bawang bisa melonjak naik, atau bahkan kata mama saya, itu harga gak naik, melainkan berubah total. Harga yang namanya naik itu biasanya hanya berkisar 1000-5000 rupiah, tapi kalau melonjak dari Rp. 25.000,- menjadi Rp. 65.000,- atau Rp. 100.000,- itu sih kebangetan, berubah harga tapi gak bikin selametan nasi kuning dulu, bener gak ibu-ibu?
     Bawang di Indonesia memang sedang mengalami krisis, berbagai krisis tepatnya yang disebabkan oleh berbabagi faktor. Faktor pertama adalah datang dari pengaruh cuaca, cuaca di Indonesia yang belakangan ini sedang tidak bersahabat menyebabkan sedikitnya terhadap jumlah pasokan panen bawang di daerah penghasilnya. Faktor cuaca adalah faktor yang memang tidak bisa disalahkan secara langsung dan murni sulit untuk diubah. Faktor kedua adalah datang dari subyek penghasil bawangnya, yakni para petani. Para petani bawang memang sulit untuk mendapatkan bibit bawang unggul untuk memenuhi permintaan pasar, alhasil bawang yang mereka tanam pun ya memang hanya berkualitas "Indonesia". Sulitnya mendapatkan bibit unggul ini adalah akibat mahalnya harga bibit bawang yang berkualitas bagus, karena memang seakan tidak didukung oleh pemerintah terkait untuk menyejahterakan kehidupan petani. Nah, faktor pemerintah inilah yang menjadi faktor ketiga. Pemerintah memang memiliki peran yang banyak terkait pasokan kebutuhan pasar di Indonesia. Pemerintah dari tahun ke tahun sudah kecanduan dengan barang impor, lebih bangga dengan hasil dari negeri orang dibanding hasil dari jerih payah negeri sendiri. Pasokan bawang impor yang imbasnya menghalangi bawang kualitas lokal menyebabkan petani bawang Indonesia menjadi semakin terpinggirkan dengan bawang-bawangnya yang tidak dihargai. Alhasil, sempat tersiar di berita bahwa banyak di pelabuhan yang mendapati kontainer-kontainer ukuran besar yang berisi bawang impor sedang (katanya) diproses terkait administrasi impor. Sekilas terlihat bahwa pemerintah malah menjadi penimbun bawang saat kebutuhan dan pasokan bawang di pasar sedang tidak seimbang. Nanti baru deh, kalau sudah tanggal mainnya, bawang-bawang impor itu mulai disalurkan ke pasaran lokal. Tujuannya bukan lain untuk menguntungkan pihak pengimpor dan menghalangi kualitas lokal untuk bersaing secara sehat di pasaran.
     Beberapa faktor di atas, bukan hanya terjadi pada bawang. Masih ingatkah para pemirsa tentang naiknya harga cabe yang terjadi beberapa waktu lalu? Pasti lah masih ingat, apalagi kaum ibu dan kaum bapak. Harga cabe yang naik itu hanya berkisar beberapa minggu, setelah itu mulai lagi kembali normal. Kejadian itu berlangsung di saat masyarakat Indonesia mulai banyak melontarkan rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintah di segala aspek. Sama halnya dengan kasus bawang ini, apalagi sekarang sudah Maret 2013, hanya tinggal 12 bulan lagi menuju 9 April 2014. Klasik, menindas yang lemah kemudian mendadak prihatin dan pura-pura tidak tahu, lalu mulai  bertindak atau lebih tepatnya berlaga heroik dengan mengembalikan keadaan seperti semula, dan pada akhirnya mereka para oknum akan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk 2014. Maaf yaaa, kami sudah banyak yang cerdas, bisa menilai siapa yang tulus dan siapa yang memang hanya sekedar "pembuat topeng". Apalagi kaum ibu dan kaum bapak, pasti merasa "ah, ogah gue milih dia, waktu itu aja pas dia mimpin harga-harga kebutuhan pokok naiknya kaya mau ngebunuh orang".
     Politik sejenis ini memang sudah banyak, sesuai dengan ilustrasi grafik normal di pasaran; ada kalanya baru merintis, kemudian mulai bangkit, ada di posisi atas, kemudian mulai jenuh dan pada akhirnya turun drastis dan harus memulai dari awal lagi. Sama halnya dengan pencitraan tersebut di atas; ada kalanya membuat keadaan normal, kemudian membuat ulah, lalu mengembalikan kenormalan dengan tangannya sendiri, lalu kembali normal dan mulai dari awal lagi. Ya sebagai warga negara Indonesia yang baik dan cerdas, harusnya bisa berpikir jernih atas segala kondisi yang ada, jangan mudah terpukau dan terpesona dengan segala bentuk kemudahan yang disediakan, karena bisa jadi ada kejahatan di balik topeng karakter baik tersebut.
     Di tengah-tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan saat ini, harus pandai memilih "barang di pasaran", kadang ada yang masih mentah tapi tak jarang juga yang sudah terlanjur busuk, tergantung si penjualnya itu yang bisa berlaku jujur. Tetap pasang mata, pasang telinga dan tetap jaga hati, karena kebohongan bisa saja terjadi jika ada sedikit celah dan ada kemauan untuk berbohong (ya iya laaaah).



Salam hormat,
Abdus Somad, Ph.D

Sunday, March 3, 2013

Aku Tersesat, Tapi Aku Bisa Bangkit Hingga #Wisuda89

"Manajemen Dakwah? Hahahahaha mau ngapain? Mau jadi ustadz?"

     Dulu aku juga berpikir begitu, tapi semakin ke sini aku makin sadar siapa aku, siapa Manajemen Dakwah dan apa peranannya di dunia persaingan global ini. Sebenarnya, Manajemen Dakwah adalah mengoordinasikan ilmu-ilmu manajemen dengan nilai-nilai keisalam dan diaplikasikan kepada lembaga-lembaga yang berbasis syariah, yang faktanya saat ini sudah mulai banyak menjamur dalam berbagai hal; perbankan, asuransi, transaksi dan aspek lainnya. Bukan sekedar cuap-cuap di depan para pendengar yang belum tentu mereka menerapkannya atau tidak.
     Sudah hampir makanan seminggu-minggu (bukan lagi sehari-hari) ucapan-ucapan tersebut dilontarkan kepadaku selaku mahasiswa Manajemen Dakwah. Dalam benak hanya tersirat "Haha, akan ku buktikan suatu saat nanti". Aku hanya ingin menjadi aku, bukan menjadi anda, kalian atau mereka. Aku awalnya memang agak merasa tersesat, tepatnya agak sedikit tersesat. Bingung apa yang harus aku perbuat di jurusan ini, ditambah lagi dengan kurikulum semester awal yang memang hampir bersentuhan dengan agama. Bukannya aku bosan dengan agama, tapi masa iya sudah lari jauh ke UIN tapi lagi-lagi menimba ilmu apa yang sudah aku dapatkan semenjak masih di Ibtidaiyah?.
    Tapi, oooh baru paham setelah menginjak semester 3, mulai diisi dengan kurikulum tentang dunia per-manajemen-an dan antek-anteknya. Yaa walaupun masih agak merasa sedikit tersesat, aku berusaha menggali apa yang sebenarnya terkandung dalam nama "Manajemen Dakwah". Waktu demi waktu berlalu, semakin yakin dan semakin berterima kasih kepada Allah yang menuntunku kepada jurusan Manajemen Dakwah. Ada 2 hipotesis : aku yang membutuhkan Manajemen Dakwah atau Manajemen Dakwah yang membutuhkan SDM seperti aku!
     Betapa bersyukurnya aku berada di dalam keluarga Manajemen Dakwah, jika saja aku masuk UIN ke jurusan yang lain, aku belum tentu menjadi aku yang seperti sekarang ini. Dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang beragam, bisa menjadi salah satu (bisa dibilang) sebagai "delegasi" dari Manajemen Dakwah yang aktif di organisasi ekstra, bisa kesana kemari melanglang buana, hidup di lingkungan baru bernuansa politik, mendapatkan beasiswa yang seabreg dan yang paling penting bisa lulus dengan IPK 3,48 pada semester ke-9. Hal terakhir tersebut adalah yang paling membuatku bersyukur, memang jika melihat teman-teman sejawatku yang berbarengan masuk UIN, mereka terlihat lebih sulit dalam mendapatkan nilai di atas 3,0. Bahkan ada juga beberapa yang sulit untuk mendapatkan kelulusan karena dosen-dosennya yang terlalu idealis. Ya memang, dengan modal otakku yang isinya memang tak bersifat statis, hanya bersifat teoritis dan argumentalis ya memang pas jika ditempatkan atau ditakdirkan menjadi mahasiswa Manajemen Dakwah. Tak perlu berkutat terlalu banyak dengan kepastian sebuah teori atau lainnya. Intinya adalah bersyukur dan berusaha tetap menjadi yang lebih baik dari yang terbaik.
     Sebenarnya aku bosan mendengar ucapan para mereka yang baru mendengar istilah Manajemen Dakwah dan hanya mengartikannya sebagai calon pendakwah. Tidak salah memang, tapi kami adalah pendakwah dengan cara kami sendiri, bukan dengan cara tradisional dan konvensional, melainkan dengan pendekatan yang lebih modern, dengan konsep menanamkan kebiasaan hidup ber-syariah atau dengan meneladani nilai-nilai keisalaman yang memang sudah seharusnya diaplikasikan oleh umat manusia. Kami adalah pendakwah, kami hidup di zaman modern, kami adalah preachers in a modernity!

Viva La Manajemen Dakwah!

8 September 2008.

     Aku masih ingat tanggal itu. Ya, tanggal dimana hari pertama aku menjalani status baru sebagai mahasiswa, jurusan Manajemen Dakwah di kampus hijau pembaharu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tapi sebelum masuk hari pertama, ada lah beberapa perkenalan almamater kampus melalui kegiatan Program Pengenalan Studi dan Almamater (Propesa). Pada waktu itu propesa angkatan 2008 dilambangkan dengan hewan burung hantu, kurang tahu sih apa filosofinya. Tapi menurut hematku, simbol burung hantu dimaknakan sebagai luasnya ilmu pengetahuan dan cakrawala ilmu, bisa melihat semua celah positif untuk pengembangan diri dalam proses kedewasaan diri. Sesuai dengan sifat dan karakter yang dimiliki oleh seekor burung hantu, ia bisa melihat dalam pandangan yang luas dan seakan tak terbatas, dengan tambahan mata yang tajam yang mampu melihat hewan-hewan kecil yang menjadi mangsanya.
Gambar : Properti Propesa
Sumber : Dokumentasi Pribadi
     Kenangan propesa sungguh banyak, mulai dari ajang baru saling kenal dengan teman-teman seangkatan, dengan senior dan dengan staf pengajar. Pada waktu itu, kelompok propesa Fakultas Dakwah dan Komunikasi (sekarang Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi) dinamakan dengan nama KODAK (Kelompok Dakwah), aku kedapatan sebagai anggota KODAK 5. Begitu panjang cerita tentang propesa, mulai dari dapat teman pertama di kampus, SKSD dengan anggota lainnya, bawa properti yang aduhai heboh dan semarak, pertama kalinya tidak di rumah pada waktu larut malam dan lain-lain.
     Properti yang harus dibawa waktu itu antara lain topi caping di cat merah (untung waktu itu bapak punya topi caping di rumah), kalung dari beng-beng, kain sarung merah, tampah di cat merah, botol 1,5 liter diisi kacang hijau biar berisik, kemeja putih, celana bahan hitam, kaos kaki merah, sepatu hitam bertali merah dan gesper merah. #Riweuh. Tak perlu cerita banya ya tentang propesa, karena isinya ya sama seperti kegiatan-kegiatan ospek yang lazimnya.
     Hari pertama kuliah, canggung, belum kenal siapapun, masih rajin, masih berbau mahasiswa baru lah ya. Semakin lama-kelamaan, ya mulai deh kenal ini itu, siapa dia siapa dia siapa dia dan lain-lain. Awal perkenalan dengan mereka dan dekat dengan mereka, tapi semakin meranjak ke semester-semester berikutnya malah kenal dengan mereka yang lain dan semakin dekat dengan mereka yang lain itu. Itulah takdir.
Gambar : Ta'aruf MD Angkatan 2008
Sumber : Dokumentasi pribadi
     Waktu semester 1 itu juga menjadi pengalaman pertama berorganisasi, dipercaya menjadi bagian dari panitia Sahur On The Road FDK. Mulai deh ikut-ikutan rapat, sok sibuk dan sebagainya, tapi bermanfaat kok. Lalu tak lama kemudian mulai kenal dengan dunia organisasi ekstra, PMII. Awalnya mau ikut Malam Perkenalan Anggota Baru (MAPABA), tapi ternyata bentrok dengan acara Ta'aruf Jurusan Manajemen Dakwah. Bingung nih ceritanya, padahal sampe hari H menjelang keberangkatan aku masih berniat ikut MAPABA PMII, tapi aku salut dengan teknik lobi dari seorang kakak kelas di jurusan, dengan hebatnya ia mampu membujuk saya untuk bergabung bersama jurusan, dengan berjuta alasan yang memang logis. Alhasil, jadilah ikut ke ta'aruf jurusan di Pantai Anyer. Ternyata seru, benar-benar satu unforgetable moment!
     Kemudian pada tahun 2009, tepatnya di tanggal 16-19 April 2009 mulai ikut yang namanya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Dakwah (KOMFAKDA). Ikut dengan beberapa teman dan kenalan, diisi dengan berbagai materi dan berbagai kenangan manis. Sejak saat itulah mulai makin kenal dan dekat dengan dunia organisasi, mulai dapat label aktivis dari teman-teman, jarang pulang, hidup ala anak kos dan sebagainya. The another unforgetable moment!
     Loncat ke semester-semester akhir aja ya, karena di semua semester itu hampir sama isunya, ya tugas numpuk lah, jalan-jalan lah, kegiatan organisasi la dan lain-lainnya. Nah tapi yang (jujur nih ya) berkesan adalah aku dan yang lain alhamdulillah mendapatkan sejumlah beasiswa di setiap tahunnya. Aku sendiri mungkin penerima yang paling banyak diantara yang lainnya, ya mungkin karena aku aktif di berbagai organisasi. Semester pertama mendapatkan beasiswa Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) dari UIN Jakarta, semester kedua langsung mendapatkan beasiswa Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) UIN Jakarta, beasiswa ini berlangsung hingga ke semester kelima. Di semester keenam, mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama Kanwil Jakarta, setelah itu lolos seleksi penerimaan beasiswa BAZIS Jakarta Selatan, namun aku lepas karena aku masih terikat sebagai pendaftar beasiswa Bank Indonesia di semester ketujuh hingga ke semester kedelapan. Sungguh, rasanya mau banget mengulang masa-masa kejayaan itu! :)
Gambar : Orientasi Kepemimpinan dan Budaya FKMB '10
Sumber : Salman al-Farisy
     Di semester 5 juga, aku mulai merambah "dunia luar", aktif di organisasi luar yakni Forum Komunikasi Mahasiswa Manajemen Dakwah (FKMMD) se-Indonesia dan di Forum Komunikasi Mahasiswa Betawi (FKMB). Di semester akhir, yakni 7 dan 8 mulai menyusun skripsi dengan rintangan yang datang dari diri sendiri : malas!. Di semester ketujuh juga aku mulai bergabung dengan Sekolah Politik Kerakyatan Komunitas Indonesia Baru (SPK KIBAR). Aktifitas yang lumayan banyak, menyebabkan terbengkalainya skripsiku untuk beberaba bulan, dikarenakan memang aku adalah tipe orang yang tidak bisa membagi fokus otak ke banyak pekerjaan. Akhirnya wisuda di bulan Juni 2012 pun aku tertinggal.
Gambar : Sidang Munaqasyah
Sumber : Dokumentasi pribadi
     Mulai masuk bulan Ramadhan, aku mendapatkan hidayah dari Allah untuk segera menyelesaikan skripsiku. Alhamdulillah, setelah sekitar 2 bulan kejar target akhirnya skripsi itu selesai dengan masih banyak kekurangan, setidaknya saya bisa langsung daftar sidang skripsi dan alhamdulillah bisa melaksanakan sidang skripsi pada 29 November 2012 dengan hasil yang amat baik walau harus lagi-lagi tertinggal wisuda ke-88 di awal November lalu. Banyak revisi dan terbengkalai selama beberapa minggu, hingga pada akhirnya bisa terselesaikan dalam watu 3 minggu dengan usaha dan jerih payah yang amat besar. Selesai, dan daftar wisuda.

Gambar : Banner #Wisuda89 UIN Jakarta
Sumber : Dokumentasi pribadi
     Hingga pada akhirnya, hari ini 3 Maret 2013 aku melaksanakan hari yang amat sakral dan bersejarah untuk jenjang S1-ku ini. Sekian lama kami menunggu dan saat aku duduk di dalam pun masih terbesit pikiran "masih gak percaya, sekarang gue duduk di bangku ini, di bangku untuk para wisudawan dan wisudawati UIN Jakarta". Hingga pada akhirnya disebutnya nama "Abdus Somad" barulah sadar memang ini adalah nyata, bukan sekedar lamunan alam bawah sadar. Selamat dan semangat!
     Diwisudanya aku dan yang lain, bukan berarti lantas aku akan pergi lenyap dari peredaran kampus. Ingat. masih banyak mereka yang membutuhkan bantuan ide-ide untuk menyelesaikan skripsi mereka, mudah-mudahan aku bisa menepati janjiku pada kalian. Asal, aku membantu dan tidak total membantu, karena itu adalah karya kalian, bukan karyaku. Kalian yang bertanggung jawab, bukan aku.
     Sedikit pesan, tetaplah pada apa yang kalian pilih, jangan terlalu iri dengan pencapaian orang lain karena setiap orang di dunia ini memiliki kapasitasnya masing-masing dengan garis hidupnya masing-masing. Tetap percaya pada kemampuan diri, karena kepercayaan diri adalah senjata terhebat untuk mendapatkan kemenangan yang dibanggakan.

*Sebuah uraian perjalanan singkat tentang masa-masa jaya seorang mahasiswa jurusan Manajemen Dakwah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2008. Secara teknis, aku menyelesaikan kuliahku tepat 4 tahun (8/9/08 - 29/11/12), namun berdasarkan jumlah semester aku hanya telat 1 semester menjadi total 9 semester. Semoga bermanfaat dan tulisan ini akan terus mengalami penambahan hingga sudah dirasa cukup pada saatnya nanti.

Salam hangat,
Abdus Somad, S.Kom.I

Friday, March 1, 2013

Black Swan Theory (Teori Angsa Hitam)

Gambar : Angsa Hitam (Black Swan)
Picture Source : Wikipedia
     Teori Black Swan adalah sesuatu yang merujuk pada peristiwa langka, berdampak besar, sulit diprediksi dan di luar perkiraan biasa. Sesuai dengan namanya, "Black Swan" yang memang manusia hanya memahami bahwa di dunia ini hewan angsa hanya berwarna putih, namun pada faktanya di beberapa belahan dunia, seperti di Australia Selatan, Australia Tenggara dan Pulau Tasmania. Bukan hanya pada warna, angsa hitam pun menjadi "Black Swan" untuk jenisnya sendiri dalam melakukan kebiasaan migrasi, pasalnya angsa hitam tidak melakukan migrasi dan hanya menetap di tempat ia menetas seperti kebiasaan angsa putih umumnya.

     Teori Black Swan mulai muncul di kalangan masyarakat setelah diperkenalkan oleh Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya The Black Swan pada tahun 2007. Menurutnya, teori Black Swan itu muncul secara mengejutkan, berpengaruh besar dan setelah muncul akan menyebabkan manusia berpikir jauh ke belakang terhadap sebab musabab kejadian tersebut. Menurutnya juga, di dunia ini sudah ada fenomena yang menjadi Black Swan yang muncul secara tidak terprediksikan dan tidak teramalkan, yaitu adalah fenomena teknologi komputer dan internet, Perang Dunia 1 dan peristiwa 11 September 2001.

     Teori Black Swan secara singkat bisa diartikan sebagai "1 dari 10", maksudnya adalah bahwa di balik semua hal yang berjalan beriringan sama, pasti ada satu hal yang memecah kesamaan tersebut. Teori tersebut biasa memutus alur sebuah pemikiran atau logika yang mengambil konklusi berdasarkan hal-hal yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

     Sebagai contoh : si A adalah seorang mahasiswa baru, pada hari pertama ia berangkat kuliah pada jam 8 pagi, menerima ilmu ajar hingga jam 3 sore, pulang ke rumah jam 4 sore dan tiba di rumah jam 6 sore. Kejadian itu terus berulang hingga hari ke-15 dan si A telah membuat konklusi bahwa kuliah semester pertama itu ia akan berangkat dari rumah jam 8 dan akan kembali tiba di rumah pada jam 6 sore. Di luar dugaan, pada hari ke-16 ternyata si A yang pada perjalanan pulang terhambat di jalan karena ada sebuah kecelakaan maut yang menyebabkan mobil angkutan yang ia tumpangi terjebak ke dalam kemacetan panjang, sehingga si A menjadi tiba di rumah pada pukul 8 malam.

     Dalam kasus ini, yang menjadi Black Swan adalah kecelakaan maut tersebut, apapun jika mengalami atau melihat sebuah kecelakaan maut dalam perjalanannya, pasti akan mengubah semua kebiasaan yang sama menjadi kebiasaan yang baru namun tidak bersifat permanen. Bisa dilihat dari kasus di atas, maka bisa diambil kesimpulan bahwa Black Swan itu bisa berwujud segala hal, termasuk kematian atau bisa disebut sebagai malaikat maut, seperti yang terjadi dalam Perang Dunia 1 dan peristiwa 11 September 2001. Oleh karena itu, bisa lah kita sebut Malaikat Maut sebagai Black Swan yang selalu berkeliling di antara kita tanpa kita ketahui kapan ia memutus alur kebiasaan sehari-hari kita, manusia.

     Untuk itu, kita sebagai manusia biasa yang tidak pernah tahu akan bagaimana hidup kita sepersekian detik kemudian, hendaklah bersikap santun. Santun bukan hanya kepada orang-orang sekitar, namun juga santun kepada diri sendiri, kepada alam, kepada norma dan kepada Tuhan. Sebagai langkah awal untuk mempersiapkan diri kita dikala Sang Black Swan terbang menghampiri perjalanan keseharian kita.

     Di luar konteks kematian, Black Swan pun juga patut kita ciptakan sendiri, menciptakan dalam arti bukan mendahului Tuhan namun merepresentasikan apa yang Tuhan telah gariskan untuk kehidupan dunia fana. Menciptakan sesuatu yang bukan hanya fisik, melainkan juga bisa sesuatu yang non-fisik, seperti berupa penghargaan ataupun sesuatu yang memorable atas sebuah hal yang kita lakukan dengan sepenuh hati. Menciptakan sesuatu yang setidaknya bisa bermanfaat untuk generasi mendatang, sebagai penerus dan pembaharu dari "Black Swan" yang kita telah buat sebelumnya.

     Sebagai calon pelaku sejarah di masa depan, kita adalah penulis, untuk diri kita, untuk lingkungan, untuk semua yang kita cintai, untuk semua yang Tuhan ciptakan dan sebagai pengubah garis yang telah ditetapkan oleh-Nya. Terakhir, tetaplah mengingat satu firman-Nya yang berarti : "Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu merubah nasib mereka sendiri..." (Q.S. Ar-Ra'd : 11)

*Terinspirasi dari pidato Dr. H. Arief Subhan, MA (Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) saat menyampaikan pesan dalam Pelepasan Alumni Wisuda-89 FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis, 28 Februari 2013 di Ruang Teater Prof. Dr. Aqib Suminto FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.