Tuesday, October 20, 2015

Pengembangan Karyawan: Investasi atau hanya menjadi “Kotak Pandora”?

Sumber gambar: Wikipedia
Dalam  mitologi Yunani, banyak dikenal dewa dan dewi dengan segala kekuatan spesialisnya, yang paling tersohor adalah Zeus, dewa dari segala dewa. Pada suatu masa, Zeus memerintahkan dewa pencipta, Hephaestus, untuk menciptakan sosok wanita pertama, kemudian terciptalah Pandora. Sebagai hadiah, Zeus memberikan sebuah kotak kepada Pandora, namun melarang keras membukanya dalam kondisi apapun. Seiring berjalannya waktu, Pandora semakin merasa penasaran dengan isi kotak tersebut, hingga sampai pada suatu waktu ia membukanya. Dan yang keluar dari kotak tersebut hanyalah kepulan asap hitam yang langsung menyelimuti seluruh tempat dan membawa penyakit, hingga isi kotak tersebut habis dan menyisakan suatu hal yang baru disadari oleh Pandora, ialah sebuah harapan, yang sebelumnya terkubur paling dalam di bawah kepulan asap penyakit tersebut.

Kisah kotak Pandora tersebut memang tersohor dan menjadi banyak ungkapan dalam kehidupan, terutama yang terkait dengan sebuah bencana, atau kerusakan lainnya. Namun di balik sebuah bencana, masih ada secercah harapan untuk bisa kembali memulai segala hal dari awal dengan baik. Begitu juga jika dikaitkan dengan perusahaan yang ingin menjalankan program pengembangan bagi karyawannya. Untuk meningkatkan kompetensi karyawan -apalagi dalam jumlah besar- pasti membutuhkan banyak pengorbanan. Sebut saja biaya yang besar, jam kerja yang harus berkurang karena program pengembangan, dan tentunya spekulasi atas kesuksesan program pengembangan sesuai dengan harapan manajer puncak.

Human resource development: pot of gold, or chasing rainbow? –Millmore, et al,  2007.

Persepsi skeptis terhadap pengembangan karyawan hanya sebagai kotak pandora juga harus dihadapi dengan keseriusan divisi pengembangan dan manajer puncak, harus bisa membuktikan kesuksesan program yang dijalankan. Hal ini bisa dilakukan jika divisi pengembangan menyelenggarakan program yang sesuai dengan kebutuhan karyawan dan kebutuhan organisasi, baik secara kecil ataupun besar.

Bohlander & Snell (2013) menyatakan ada 4 tahap dalam pengembangan karyawan. Tahap pertama adalah identifikasi kebutuhan pelatihan yang dilakukan dengan memetakan kebutuhan karyawan terhadap sebuah pengembangan, termasuk juga memetakannya melalui tanggung jawab pekerjaan atau kebutuhan perusahaan. Sebagai contoh, pernah dilakukan identifikasi kebutuhan berdasarkan tanggung jawab pekerjaan untuk karyawan Departemen Commercial di PT Kansai Prakarsa Coatings. Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi knowledge, skill, dan  attitude (KSA) tiap jabatan yang ada di Departemen Commercial. Hasil akhirnya adalah kebutuhan pelatihan untuk meningkatkan KSA dari tiap jabatan. Contoh lainnya adalah mengidentifikasi kondisi aktual dan harapan para pegawai fungsional di sebuah badan pemerintahan mengenai kondisi sistem MSDM yang ada, salah satunya adalah sistem pendidikan dan pelatihan (diklat). Dari hasil identifikasi ditemukan bahwa pegawai fungsional condong lebih menginginkan pelatihan yang sifatnya pengembangan keahlian teknis dan kemampuan manajerial. Maka selanjutnya bisa diusulkan kepada badan diklat untuk memberikan pengembangan sesuai harapan pegawai fungsional.

Tahap kedua merupakan tindak lanjut dari tahap identifikasi kebutuhan pelatihan yang sudah dilakukan, yakni perancangan model pelatihan yang akan dilaksanakan. Proses perancangan ini meliputi penentuan fasilitator, metode, dan konten dari program pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan dari karyawan. Setelah itu masuk kepada tahap ketiga, tahap pelaksanaan. Tahap ini bisa berupa penugasan lapangan (assignment), metode ini cocok dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan langsung dengan pelanggan, seperti customer service, koki restoran, teknisi, dan lain sebagainya. Atau metode lainnya adalah dalam bentuk kaderisasi seperti dalam program succession planning, di mana si trainee akan lebih belajar dari hal yang praktis (seperti pada tulisan sebelumnyahttps://www.linkedin.com/pulse/talent-management-la-sinister-2-abdus-somad). Tahap keempat adalah evaluasi, di mana akan diukur dari aspek reaksi, pembelajaran, perilaku, hasil, dan perhitungan investasi.
Pengukuran tingkat reaksi dan pembelajaran sudah lumrah dilakukan untuk program pengembangan di dalam kelas (in-class training). Sedangkan perilaku dirasa sudah menjadi standar perusahaan dalam mengevaluasi program pengembangan, membandingkan penilaian perilaku kerja sebelum dan setelah menerima program. Sebagai satu contoh, di sebuah badan pemerintahan, pegawai fungsional pada umumnya dinilai melalui form Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), termasuk di dalamnya adalah perubahan perilaku kerja pasca-pelatihan. Tingkat yang lebih tinggi adalah evaluasi hasil, di mana perusahaan akan melihat pencapaian suatu unit atau organisasi setelah memberikan pengembangan kepada karyawannya. Terakhir, tingkat tertinggi dalam evaluasi pengembangan adalah dengan menghitung “balik modal” atau biasa disebut sebagai return on training investment (ROTI) dari biaya yang telah dikeluarkan untuk pengembangan , dengan pendapatan operasional perusahaan setelah dilakukannya pengembangan karyawan. Metode ini diterapkan oleh perusahaan yang sudah menganut MSDM-nya dengan istilah human capital (HC), di mana segala bentuk pengelolaan SDM-nya adalah bentuk investasi bagi perusahaan.


Kesimpulannya, program pengembangan karyawan yang dilakukan oleh perusahaan memang terkadang dianggap sebagai aktivitas menghamburkan biaya, jika memang sebelumnya terjadi “Kotak Pandora” sehingga menimbulkan trauma. Tapi seperti yang dikisahkan dalam mitologi, di dasar kotak masih ada secercah harapan yang tertinggal. Tinggal bagaimana perusahaan mampu mengelola harapan yang ada, harapan bagi perusahaan, maupun harapan yang ada di dalam benak karyawannya, sehingga misi pengembangan menjadi sejalan. Tidak lagi pengembangan karyawan hanya menimbulkan kerugian yang signifikan bagi perusahaan, namun bisa menutup kotak pandora dan menggantinya dengan pot of gold yang bersifat jangka panjang.

Tuesday, October 6, 2015

Talent Management a la Film Sinister 2

pstr
Sumber gambar: t3.gstatic.com
Anda pasti sudah menonton film berjudul Sinister 2, kan? Ya, beberapa minggu terakhir film sekuel bergenre horor ini cukup menarik minat para penggemar film. Bagaimana tidak, sejak film ini diputar, sudah menggambarkan adegan yang kejam dan mengerikan. Film yang merupakan lanjutan dari pendahulunya, Sinister, menceritakan plot yang hampir sama, dengan tokoh utama yang berbeda. Dengan plot cerita yang bersambung, film ini dirasa cukup membuat penasaran, terutama untuk lebih mengenal dengan sosok hantu utama yang disebut sebagai Bughuul atau Mr. Boogie.

Film ini memang cukup menuai kontroversi, apalagi dari adegan-adegan kekerasan dan pembunuhan yang ditayangkan selama film diputar, dan ini melibatkan sosok figur anak-anak dalam adegan tersebut. Sebut saja ketika tokoh antagonis, Zach, yang memiliki rasa iri berlebihan terhadap adiknya, Dylan. Apalagi saat melihat kilas balik dari para hantu cilik yang melakukan reka ulang pembunuhan, termasuk adegan Zach yang sedang hendak membakar seluruh anggota keluarganya. Namun siapa sangka, dari banyaknya kontroversi mengenai adegan kekerasan tersebut, ada sisi lain yang bisa dipelajari, yakni belajar dari sosok hantu utama, Bughuul.
Mungkin para pembaca sudah sangat tidak asing dengan istilah Talent Management. Di mana dalam sebuah perusahaan, Talent Management ini dilakukan untuk memetakan karyawan yang berpotensi tinggi dan cocok dengan perusahaan, yang nantinya bisa diberikan pengembangan untuk meneruskan roda bisnis perusahaan. Lalu apa kaitannya dengan sosok Bughuul dalam film Sinister 2 ini?

Seperti yang kita ketahui, dalam plot cerita, secara garis besar Bughuul memang mencari sosok anak-anak kecil untuk bisa mengorbankan dirinya secara tidak sadar, melalui serangkaian proses yang menyeramkan, yakni melalui adegan pembunuhan. Memang sedari awal Bughuul sudah menerapkan talent segmentation untuk melancarkan aksinya, yakni dia hanya memilih anak-anak yang dari luarnya tidak memiliki penampilan sebagai karakter jahat, supaya tidak ada orang yang menaruh curiga atas aksi yang dilakukan oleh mereka. Dalam cerita, Bughuul mencoba merasuki raga anak-anak untuk melakukan apa yang seharusnya mereka tidak lakukan, mengorbankan keluarganya untuk kemudian dirinya akan diambil oleh Bughuul untuk menjadi pengikutnya, yang nantinya akan melakukan hal serupa kepada anak-anak yang masih hidup lainnya. Sebut saja sosok-sosok hantu kecil yang ditayangkan, ada tokoh Milo yang menjadi pemimpin dari hantu-hantu cilik lainnya, dialah yang memberikan pengaruh kepada anak kecil lain untuk ikut dengannya menonton rekaman pembunuhan sebelumnya. Memang sejatinya masih belum jelas apa motivasi utama dari pembunuhan ini dan diangkatnya jiwa anak kecil tersebut oleh Bughuul, secara pendek bisa dimaknai bahwa Bughuul ingin membangun sebuah kerajaan.

Hal yang dilakukan oleh Bughuul melalui Milo dan anak-anak lainnya ini sama halnya dengan program pembentukan suksesor atau succession planning. Dalam cerita tidak dijelaskan bagaimana Bughuul memulai proses pembelajaran kepada anak-anak terpilih. Namun, sosok Milo yang memberikan serangkaian proses pembelajaran kepada anak-anak lainnya (termasuk Zach dan Dylan) dalam bentuk film-film yang direkam sendiri. Digambarkan bahwa anak-anak yang telah dirasuki pikirannya oleh Bughuul akan merencakan aksinya untuk menghabisi seluruh keluarganya. Melalui “pelajaran” inilah, anak-anak merealisasikan rencana aksinya. Uniknya, pelajaran tersebut mereka simpan dengan baik dalam sebuah kotak berisi gulungan klise film yang telah mereka rekam.
A half of knowledge is knowing where to find it - Anonymous
Di sinilah salah satu bentuk sederhana dari Knowledge Management (KM) diterapkan, yakni dengan menyimpan dokumen inti untuk nantinya dijadikan contoh pembelajaran oleh “kader” berikutnya. Nah, anak-anak ini seakan diberikan informasi yang terus berantai dari satu anak kepada anak lainnya, bahwa gulungan film rekaman sendiri tersebut ada di sebuah kotak yang tersimpan rapi, disertai pemberian label nama dari setiap peristiwa. Tujuannya sederhana, supaya calon korban anak lainnya mengetahui prosedur dan aksi yang dilakukan oleh anak-anak sebelumnya. Di sini terlihat bahwa adanya sebuah proses yang terus berlangsung, seperti tergambar dalam diagram berikut:
Gambar: Siklus Talent Management dalam film Sinister 2
Dari gambar di atas, terlihat bahwa penerapan succession planning memang dibutuhkan untuk meneruskan rantai kehidupan dari sebuah organisasi, tak pelaknya sebuah perusahaan. Bayangkan jika dalam sebuah perusahaan tidak ada succession planning, maka masa keberlangsungan bisnis bisa dihitung dalam waktu yang singkat. Hal ini dikarenakan putusnya rantai pembelajaran dari orang-orang yang kompeten kepada orang-orang yang berpotensi bisa meneruskan roda bisnis. Hal-hal yang penting untuk diperhatikan adalah bagaimana perusahaan bisa mengakomodir pengetahuan yang ada menjadi satu set KM yang bisa dengan mudah untuk diakses. Kemudian juga perlu dipertimbangkan metode pembelajaran yang sesuai dengan karyawan, dilanjutkan dengan penyusunan dan pelaksanaan rencana aksi yang perlu didampingi oleh orang yang tepat, sehingga akan memberikan hasil yang sesuai dengan harapan perusahaan.

Memang ada ungkapan yang menyebutkan bahwa jangan pernah melihat sesuatu dari tampak luarnya saja, dan pasti ada sisi pembelajaran yang bisa dipetik dari sebuah kejadian. Tak terkecuali saat menyaksikan film Sinister 2. Jadi, ungkapan yang pantas untuk Sinister 2: Don't judge the movie (only) by its scenes!