Monday, May 24, 2010

Mu'allim KH. Syafi'i Hadzami


RIWAYAT SINGKAT MU’ALLIM K.H.Muh. SYAFI’I HADZAMI

I. Biografi

Lahir pada tanggal 12 Ramadhan 1349 H atau bertepatan dengan 31 Januari 1931 M dengan nama Muhammad Syafi’i Hadzami,anak pertama pasangan Bapak Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat[1]. Ayah Syafi’i adalah seorang Betawi asli, sedangkan ibunya berasal dari daerah Citeureup Bogor. Ayahnya adalah seorang pekerja pada perusahaan minyak asing di Sumatera Selatan. Dua tahun kemudian, setelah Syafi’i lahir, ayahnya pulang ke kampung halaman dan tidak pernah kembali lagi bekerja di perusahaan minyak asing. Ayahnya kemudian bekerja sebagai penarik bendi. Pada tahun 1933 Muhammad Syafi’i tinggal bersama kakek Husin di Batutulis XIII,Pecenongan. Syafi’i mulai diajak kakeknya untuk mengaji dan membaca ditempat kakeknya mengajar mengaji. Kakeknya juga selalu mengajak Syafi’i kecil untuk sholat berjamaah. Syafi’i kecil belajar mengaji kepada teman-teman kakeknya mengajar mengaji,antara lain Kyai Abdul Fatah dan Bapak Sholihin yang ada di musholla tempat kakeknya mengajar,sehinggan saat ini musholla tersebut diberi nama Raudhatus Sholihin[2].

Mu’allim juga memiliki hobi mengoleksi batu cincin,memelihara ayam pelung dan memelihara burung. Hobi mengoleksi cincin didapatkan dari gurunya, Guru Mahmud Romli sewaktu menuntut ilmu agama. Selain sebagai koleksi,ada juga batu cincin yang diperdagangkan kepada orang lain. Mua’llim juga suka berbagai makanan,beliau bukan orang yang rewel saat disuguhkan makanan. Hanya satu yang kurang disukai,yaitu daging ayam,karena ayam yang disembelih dipasar masih diragukan tatacara penyembelihannya. Makanan kesukaan Mu’allim adalah soto kaki dan sop. Saat majelis ta’lim,beliau juga senang makan dengan sate,sop dan durian.

II. Pendidikan

Sejak kecil,tepatnya tahun 1935 Syafi’i mulai belajar mengaji kepada kakeknya sendiri,Kakek Husin. Ia belajar kepada kakeknya hingga kakeknya wafat pada tahun 1944. Kemudian pada tahun 1936 Syafi’i masuk ke sekolah dasar HEI (Hollandche Engels Instituut) yang terletak dijalan Ketapang. Sebelum berangkat sekolah, Syafi’i selalu berdagang kue buatan neneknya dengan berkeliling kampungnya selama kurang lebih 2 tahun. Pada tahun 1940 Syafi’i mengkhatamkan Al-Quran dan mulai membantu mengajar teman-temannya. Namun Syafi’i juga tetap belajar Al-Quran kepada Bapak Sholihin. Selain belajar Al-Quran Syafi’i juga belajar lughah,nahwu dan shorof kepada Bapak Sholihin. Kemudian pada tahun 1942 Syafi’i lulus dari HEI. Setelah lulus dari HEI,Syafi’i mulai mengikuti kursus stenografi[3] dan pembukuan.

Pada tahun 1948 Syafi’i menikah dengan gadis tetangganya di Batutulis bernama Nonon yang dikemudian hari dipanggil dengan panggilan Hajjah Siti Khiyar. Pada saat menikah,Syafi’i telah tinggal di Kemayoran. Masih pada tahun 1948 juga Syafi’i mulai belajar resmi pada Guru Sa’idan didaerah Kemayoran. Syafi’i mempelajari ilmu tajwid, ilmu nahwu dengan kitab pegangan Mulhatul-I’rab dan ilmu fiqih dengan kitab pegangan Ats-Tsimarul-Yani’ah yang merupakan syarah atas kitab Ar-Riyadul-Badi’ah. Guru Sa’idan pun menyuruh Syafi’i untuk belajar kepada guru lain,diantaranya Guru Ya’kub Sa’idi (Kebon Sirih). Syafi’i belajar kepada Sa’idan hingga tahun 1953 atau sekitar 5 tahun dan mulai belajar kepada Guru Ya’kub Sa’idi selama 5 tahun juga dari 1950-1955. Pada Guru Ya’kub, Syafi’i mengkhatamkan kitab Idhahul-Mubham, Darwisy Quwaysini,dan lain-lain. Hingga pada akhirnya Syafi’i dipanggil dengan sebutan Mu’allim Syafi’i dikarenakan banyaknya ilmu yang dikuasai oleh Syafi’i[4].

Setelah belajar kepada Guru Ya’kub, Mu’allim kembali belajar kepada K.H. Mahmud Romli (Guru Mahmud) mengaji kitab Ihya-Ulumiddin (tasawuf) dan Bujairimi (fiqih) hingga wafatnya Guru Mahmud pada tahun 1959.

Pada tahun 1951 Mu’allim dikaruniai seorang putra pertama bernama Ahmad Chudlory (yang kini menjadi anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi PPP). Pada tahun 1953 selama kurang lebih 5 tahun Mu’allim berguru kepada K.H. Mukhtar Muhammad di Kebon Sirih yang tak lain adalah mertuanya sendiri dan juga murid dari Guru Ya’kub. Kitab yang dipelajari adalah kitab Kafrawi (dalam ilmu nahwu).

Pada tahun 1956 Mu’allim bekerja di RRI sebagai pegawai negeri. Tugasnya adalah di bagian transcription service,yaitu bagian rekaman musik-musik. Pada tahun 1958 Mu’allim kembali belajar kepada Habib Ali bin Husein al-Aththas (Habib Ali Bungur) hingga beliau wafat pada tahun 1976. Mu’allim banyak sekali mengaji kitab kepada beliau. Biasanya sebelum berangkat ke RRI,Mu’allim datang ke tempat Habib Ali Bungur dan membaca kitab dihadapannya. Kemudian sekitar tahun 1960, Mu’allim meminta rekomendasi atas karangannya kepada Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) yang berjudul al-Hujajul-Bayyinah (argumentasi-argumentasi yang jelas). Dan setelah melihat karangannya itu, Habib Ali Kwitang memberikan rekomendasinya dalam bahasa arab dan juga memberikan sebuah Al-Quran,tasbih,serta uang sebesar 5.000 rupiah kepada Mu’allim yang pada saat itu uang sebesar 5.000 sangat lumayan besar jumlahnya.

Sejak saat itu hingga sekarang,Mu’allim Syafi’i mempunyai banyak murid namun yang terdekat dengan Mu’allim adalah antara lain K.H. Sabilar Rasyad, H. A. Sukmadibrata, Ustadz H. M. Ali Samman, H. Muhammad Erwin Indrawan (murid sekaligus anak angkat Mu’allim), K.H. M.S. Zawawi,dan lain-lain[5].

III. Karya Ilmiah

Kita patut menyambut gembira kehadiran karya-karya Mu’allim yang manfaatnya telah dirasakan dan diakui oleh banyak orang,baik dari kalangan ulama maupun orang-orang awam. Hingga ,hingga akhir hayatnya sudah puluhan karya-karya yang dihasilkan Mu’allim. Pada umumnya,karya-karya beliau berupa risalah-risalah kecil dengan bahasa Indonesia yang ditulis dengan tulisan Arab,kecuali kitab Taudhihul-Adillah. Walaupun secara fisik karya-karya beliau terlihat sederhana,bahasanya pun juga sederhana tetapi mater-materi yang ditulisnya adalah tema-tema penting yang dibutuhkan masyarakat luas. Bahkan mereka-mereka yang telah berilmu tinggi pun masih perlu untuk membacanya,terkadang risalah-risalah karya Mu’allim adalah berisi mengenai tanggapan-tanggapan atas persoalan-persoalan yang sedang ramai dibicarakan. Diantara karya-karya beliau adalah sebagai berikut[6]:

1. Kitab Taudhihul-Adillah (penjelasan dalil-dalil)[7]

2. Kitab Sullamul-‘Arsy fi Qiraat Warsy. Kitab ini disusun pada saat Mu’allim berusia 25 tahun dan selesai pada tanggal 24 Dzulqa’dah tahun 1376 H (1956 M). Risalah setebal 40 halaman ini berisi qaidah-qaidah khusus pembacaan Al-Quran menurut Syekh Warasy dan terdiri dari satu mukadimah,sepuluh mathab (pokok pembicaraan) dan satu khatimah (penutup)

3. Kitab Qiyas Adalah Hujjah Syar’iyyah. Dalam risalah ini dikemukakan dalil-dalil dari Al-Quran,hadits dan ijma’ ulama yang menunjukkan bahwa qiyas merupakan salah satu hujjah-hujjah syariah. Risalah ini selesai disusun pada tanggal 13 Shafar 1389 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Mei 1969 M.

4. Kitab Qabliyyah Jum’at. Kitab ini berisi tentang kesunatan sholat sunah qabliyah pada sholat jum’at dan hal-hal yang berkait dengannya. Dalam risalah ini dikemukakan nash-nash Al-Quran,hadits dan fuqaha.

5. Kitab Shalat Tarawih. Didalam kitab ini terdapat penjelasan mengenai dalil-dalil dari hadits dan keterangan para ulama yang berkaitan dengan sholat tarawih,dari mulai pengertian,ikhtilaf tentang jumlah rakaatnya,cara pelaksanaannya dan lain-lain.

6. Kitab ‘Ujalah Fidyah Shalat. Kitab yang ditulis pada tahun 1977 ini membahas khilaf tantang pembayaran fidyah untuk seorang muslim yang telah meninggal dunia yang di masa hidupnya pernah meninggalkan beberapa waktu sholat fardhu.

7. Kitab Mathmah ar-Ruba fi Ma’rifah ar-Riba. Kitab ini membahas tentang beberapa hal yang berkaitan dengan riba,seperti hukum riba,benda-benda rabawi,jenis-jenis riba, bank simpan pinjam,deposito,dan lain sebagainya. Kitab ini selesai ditulis pada yanggal 7 Muharram 1397 (1976 M)[8].

IV. Kontribusi Dakwah

Mengajar adalah pilihan hidup dari seorang Syafi’i Hadzami. Pada beberapa tahun lalu sempat terjadi konflik kepentingan antara mengajar dan berdagang,dan pada akhirnya Mu’allim memilih untuk mengutamakan mengajar. Keputusan itu memang sesuai dengan panggilan jiwanya. Mengajar dilakukan dengan sangat tekun dan sungguh-sungguh. Penguasaannya handal. Ia memahami dan menguasai persoalan-persoalan agama dengan baik. Selebihnya adalah kearifan yang mungkin muncul dari pengalaman ilmunya. Artinya,selain menguasai ilmu,yang bersangkutan juga mengamalkannya dengan suatu corak pengalaman tertentu.

Telah banyak majlis-majlis ta’lim yang dipimpin oleh Mu’allim,dan diakui kebesarannya oleh para muridnya. Ada beberapa keagungan beliau yang disebutkan oleh muridnya,antara lain:

1. Ketelitian

2. Ketekunan

3. Kesabaran,dan

4. Kecerdasan dan daya ingat.

Berikut adalah daftar nama-nama majelis-majelis ta’lim yang pernah dipimpin oleh beliau:

1. Al-Himmatul ‘Aliyah (Cempaka Putih)

2. Baitul Muta’ali (Cipadu,Tangerang)

3. Al-Barokah (Kepu Dalam)

4. At-Taqwa (Kemayoran)

5. Al-Awwabin (Jalan Spoor Dalam)

6. Ni’matul Ittihad (Pondok Pinang,Ciputat Raya)

7. Al-Istiqomah (Cempaka Baru)

8. Yayasan At-Taqwa (Jakpus)

9. Sholatihah (Kemayoran)

10. As-Sa’adah (Simprug)

11. Riyadhul Jannah (Pd. Bambu,Jaktim)

12. Al-Mubarok (Condet)

13. Al-Hidayah (Kemanggisan)

14. At-Ta’ibin (Senen,Jakpus)

15. Az-Zawiyah (Kediaman Mu’allim Syafi’i Hadzami)

16. Al-Mabrur (Tanah Tinggi,Jakpus)

17. Al-Asyirotusy Syafi’iyah (Kp. Dukuh,Kebayoran Lama)

18. As-Surur (Kebon Jeruk)

19. Ad-Dirosatul ‘Ulya lit-Tafaqquh fid-Din (Kp. Dukuh,Kebayoran Lama)

20. Himmatul Masakin (Kebayoran Baru)

21. An-Nizhomiyyah (Cipulir)

22. Khoirul Biqo (Jakpus)

23. Al-Manshuriyyah (Jembatan Lima)

24. Al-Muhsinin (Kemayoran,Jakpus)

25. Al-Ma’mur (Tanah Abang,Jakpus)

26. At-Taqwa (Kby. Baru)

27. Al-Ma’ruf (Grogol)

28. Al-Falah (Kemayoran,Jakpus)

29. ‘Isyatur-Rodhiyyah (Johar Baru,Jakpus)[9]

V. Mu’allim Wafat

Pada pagi hari, ahad 7 Mei 2006, selepas Mu’allim mengajar di Masjid Pondok Indah, beliau mengeluh sakit pada jantungnya. Akhirnya dalam perjalanan menuju RSPP Pertamina, beliau kembali berpulang ke pangkuan Allah dengan Husnul Khotimah. Banyak para muridnya yang terkejut mendengar berita tersebut. Tak hentinya mereka datang ke kediaman Mu’allim di daerah Kebayoran, untuk mensholati dan mendo’akan kepergian beliau. Bahkan disebutkan sholat jenazah dilakukan tak putusnya mulai dari siang sampai malam hari. Sungguh ketika itu Ummat Islam, khususnya di Indonesiatelah kehilangan putra terbaiknya[10].


[1] Ali Yahya, S.Psi, Sumur Yang Tak Pernah Kering. Jakarta: Yayasan Al-‘Asyirotusy-Syafi’iyyah. 1420 H/1999 M hal. 281.

[3] Stenografi adalah cara menulis ringkas dan cepat yang biasanya dipakai untuk menyalin pembicaraan. Ada banyak sistem stenografi di dunia, tergantung pada konvensi yang dipakai untuk mengkonversi tiap alfabet.

[5] Ali Yahya, S.Psi, Sumur Yang Tak Pernah Kering. Jakarta: Yayasan Al-‘Asyirotusy-Syafi’iyyah. 1420 H/1999 M hal.223-255.

[6] Ali Yahya, S.Psi, Sumur Yang Tak Pernah Kering. Jakarta: Yayasan Al-‘Asyirotusy-Syafi’iyyah. 1420 H/1999 M hal.107

[7] Ali Yahya, S.Psi, Sumur Yang Tak Pernah Kering. Jakarta: Yayasan Al-‘Asyirotusy-Syafi’iyyah. 1420 H/1999 M hal.109

[8] Ali Yahya, S.Psi, Sumur Yang Tak Pernah Kering. Jakarta: Yayasan Al-‘Asyirotusy-Syafi’iyyah. 1420 H/1999 M hal.126-127

[9] Ali Yahya, S.Psi, Sumur Yang Tak Pernah Kering. Jakarta: Yayasan Al-‘Asyirotusy-Syafi’iyyah. 1420 H/1999 M hal. 311-313

No comments:

Post a Comment