Sumber gambar : http://reevy.files.wordpress.com/2012/05/garlic-onion.jpg |
Hayoooo, siapa yang juga ngerasa kalo sekarang-sekarang ini porsi bawang di setiap hidangan jajanan lagi agak berkurang atau bahkan lagi kosong? *SAYA!. Jadi begini, ini pengalaman nyata saya loh, baru saya dapati tanggal 19 Maret 2013 lalu. Ceritanya saya sedang di kampus untuk beberapa keperluan, sedari siang saya tiba di kampus tercinta hingga kemudian sekitar jam 14.00 WIB saya sudah mulai merasa lapar. Saya pun lantas mengajak teman-teman saya untuk makan di warung nasi dekat kampus, warung nasi yang pemiliknya kami sebut dengan panggilan "Mpok". Seperti biasa, kami akan di sana hingga senja menyapa, yaaah sekedar untuk melepas beban pikiran dan memanjakan lambung tersayang.
Setibanya kami di sana, saya adalah orang pertama yang lantas memesan 1 porsi nasi uduk dengan beberapa lauknya. Namun ada yang tidak biasa ternyata :
Saya (S) : "Mpoook, mpoook.. *lagi sholat kali nih yaa*".
S : "Mpoook.."
Mpok (M) : "Iyaaaaa"
S : "Mpok, nasi uduk ada gak?"
M : "Ada nih, mau pake apaan? *sembari nyendokin nasi ke dalam piring"
S : "Biasa, mpok. Pake telor dipedesin sama perkedel, pakein kuah semurnya dikit ya"
M : "Sip.. Eh tapi ini lagi kaga ada bawang nih ya, gak apa-apa kan?"
S : "Hahaha iya mpok, kaga papa, lagi mahal juga, mpok?"
M : "Iya nih, udah dari kemarenan"
S : " Iya dah mpok. Oh iya, biasa ya minta batu es"
M : "Oke"
S : " Iya dah mpok. Oh iya, biasa ya minta batu es"
M : "Oke"
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tuh, dari kejadian nyata di atas, ternyata harga mahal bawang sudah mulai menjalar ke segala penjuru, hingga ke perbatasan. (Karena Ciputat adalah daerah perbatasan antara Jakarta dan Banten). Padahal yang kita semua ketahui, bawang adalah tipikal satu benda yang memang sepele, tapi jika sedang situasi seperti 2013 saat ini pasti imbas naiknya harga bawang menusuk kalbu dan menguras isi dompet para kaum bapak dan kaum ibu. Mereka harus mengeluarkan sejumlah uang yang memang terhitung besar, kisaran Rp. 65.000,- hingga Rp. 100.000,- per kilogram bawang, baik itu bawang merah ataupun bawang putih.
Bawang merupakan salah satu jenis bumbu yang memang semua jenis bumbu adalah sepele namun memiliki pengaruh besar terhadap kualitas masakan Indonesia. Ternyata benar, ada nasehat yang berbunyi "segala sesuatu pasti baru terasa kehadirannya jika sesuatu tersebut sudah hilang". Bawang goreng ataupun bawang putih memang kerap digunakan sebagai bumbu masak dan taburan untuk berbagai jenis hidangan, walaupun tidak menjadi sebuah kewajiban tetapi istilah "tidak ada bawang, tidak rame" memang benar terbukti adanya. Bawang goreng memang memberi kenikmatan tersendiri pada sejumlah hidangan utama, seperti nasi uduk yang terjadi pada kisah nyata saya di atas. Tapi tanpa adanya bawang goreng, nasi uduk terasa hambar dan kurang greget.
Sekarang kita menuju topik mengapa harga bawang bisa melonjak naik, atau bahkan kata mama saya, itu harga gak naik, melainkan berubah total. Harga yang namanya naik itu biasanya hanya berkisar 1000-5000 rupiah, tapi kalau melonjak dari Rp. 25.000,- menjadi Rp. 65.000,- atau Rp. 100.000,- itu sih kebangetan, berubah harga tapi gak bikin selametan nasi kuning dulu, bener gak ibu-ibu?
Bawang di Indonesia memang sedang mengalami krisis, berbagai krisis tepatnya yang disebabkan oleh berbabagi faktor. Faktor pertama adalah datang dari pengaruh cuaca, cuaca di Indonesia yang belakangan ini sedang tidak bersahabat menyebabkan sedikitnya terhadap jumlah pasokan panen bawang di daerah penghasilnya. Faktor cuaca adalah faktor yang memang tidak bisa disalahkan secara langsung dan murni sulit untuk diubah. Faktor kedua adalah datang dari subyek penghasil bawangnya, yakni para petani. Para petani bawang memang sulit untuk mendapatkan bibit bawang unggul untuk memenuhi permintaan pasar, alhasil bawang yang mereka tanam pun ya memang hanya berkualitas "Indonesia". Sulitnya mendapatkan bibit unggul ini adalah akibat mahalnya harga bibit bawang yang berkualitas bagus, karena memang seakan tidak didukung oleh pemerintah terkait untuk menyejahterakan kehidupan petani. Nah, faktor pemerintah inilah yang menjadi faktor ketiga. Pemerintah memang memiliki peran yang banyak terkait pasokan kebutuhan pasar di Indonesia. Pemerintah dari tahun ke tahun sudah kecanduan dengan barang impor, lebih bangga dengan hasil dari negeri orang dibanding hasil dari jerih payah negeri sendiri. Pasokan bawang impor yang imbasnya menghalangi bawang kualitas lokal menyebabkan petani bawang Indonesia menjadi semakin terpinggirkan dengan bawang-bawangnya yang tidak dihargai. Alhasil, sempat tersiar di berita bahwa banyak di pelabuhan yang mendapati kontainer-kontainer ukuran besar yang berisi bawang impor sedang (katanya) diproses terkait administrasi impor. Sekilas terlihat bahwa pemerintah malah menjadi penimbun bawang saat kebutuhan dan pasokan bawang di pasar sedang tidak seimbang. Nanti baru deh, kalau sudah tanggal mainnya, bawang-bawang impor itu mulai disalurkan ke pasaran lokal. Tujuannya bukan lain untuk menguntungkan pihak pengimpor dan menghalangi kualitas lokal untuk bersaing secara sehat di pasaran.
Beberapa faktor di atas, bukan hanya terjadi pada bawang. Masih ingatkah para pemirsa tentang naiknya harga cabe yang terjadi beberapa waktu lalu? Pasti lah masih ingat, apalagi kaum ibu dan kaum bapak. Harga cabe yang naik itu hanya berkisar beberapa minggu, setelah itu mulai lagi kembali normal. Kejadian itu berlangsung di saat masyarakat Indonesia mulai banyak melontarkan rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintah di segala aspek. Sama halnya dengan kasus bawang ini, apalagi sekarang sudah Maret 2013, hanya tinggal 12 bulan lagi menuju 9 April 2014. Klasik, menindas yang lemah kemudian mendadak prihatin dan pura-pura tidak tahu, lalu mulai bertindak atau lebih tepatnya berlaga heroik dengan mengembalikan keadaan seperti semula, dan pada akhirnya mereka para oknum akan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk 2014. Maaf yaaa, kami sudah banyak yang cerdas, bisa menilai siapa yang tulus dan siapa yang memang hanya sekedar "pembuat topeng". Apalagi kaum ibu dan kaum bapak, pasti merasa "ah, ogah gue milih dia, waktu itu aja pas dia mimpin harga-harga kebutuhan pokok naiknya kaya mau ngebunuh orang".
Politik sejenis ini memang sudah banyak, sesuai dengan ilustrasi grafik normal di pasaran; ada kalanya baru merintis, kemudian mulai bangkit, ada di posisi atas, kemudian mulai jenuh dan pada akhirnya turun drastis dan harus memulai dari awal lagi. Sama halnya dengan pencitraan tersebut di atas; ada kalanya membuat keadaan normal, kemudian membuat ulah, lalu mengembalikan kenormalan dengan tangannya sendiri, lalu kembali normal dan mulai dari awal lagi. Ya sebagai warga negara Indonesia yang baik dan cerdas, harusnya bisa berpikir jernih atas segala kondisi yang ada, jangan mudah terpukau dan terpesona dengan segala bentuk kemudahan yang disediakan, karena bisa jadi ada kejahatan di balik topeng karakter baik tersebut.
Di tengah-tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan saat ini, harus pandai memilih "barang di pasaran", kadang ada yang masih mentah tapi tak jarang juga yang sudah terlanjur busuk, tergantung si penjualnya itu yang bisa berlaku jujur. Tetap pasang mata, pasang telinga dan tetap jaga hati, karena kebohongan bisa saja terjadi jika ada sedikit celah dan ada kemauan untuk berbohong (ya iya laaaah).
Salam hormat,
Abdus Somad, Ph.D
No comments:
Post a Comment