Politik paketan? Maksudnya? (Iya sebentar, ini lagi mau dibahas kok!)
Akhir-akhir ini pernah terjadi beberapa kasus munculnya gap antara pemimpin dan wakilnya, sehingga menyebabkan mereka hanya "romantis" di awal namun berakibat kisruh di tengah dan akhir masa akad jabatan mereka. Contoh yang paling santer dibicarakan oleh media adalah saat wakil bupati Garut, Dicky Chandra yang menjadi wakil dari bupati Garut yang paling fenomenal pada saat itu, Aceng Fikri. Selain itu, ada juga yang paling paling paling fenomenal, yakni saat mundurnya Prijanto sebagai wakil gubernur DKI Jakarta, yang pada saat itu gubernurnya masih dijabat oleh Fauzi Bowo.
Penyebab mundurnya wakil dari atasannya ada berbagai macam, diantaranya adalah seperti yang terjadi pada Dicky Chandra. Hanya berlatang alasan klasik, sudah tidak ada lagi kecocokan di antara mereka. Seperti halnya pada Prijanto yang merasa tidak cocok dengan pasangannya, Fauzi Bowo, di masa-masa akhir jabatannya yang tinggal 11 bulan lagi. Andai mereka tahu, menjadi pasangan pemimpin itu adalah layaknya pasangan suami-istri yang melakukan akad pernikahan di hadapan penghulu dan disaksikan oleh Tuhan. Perceraian adalah hal yang dibenci oleh Tuhan, serupa dengan pisahnya pemimpin dengan wakilnya, berarti hal tersebut adalah bentuk pelepasan tanggung jawab yang telah diamanahkan oleh masyarakat. Pelepasan tanggung jawab, walaupun secara resmi namun tetap saja hal itu adalah tak lazim.
Logikanya begini, kalau mereka tiba-tiba timbul ketidakcocokan, mengapa mereka mau berpasangan di awalnya. Nah itulah yang menjadi tanda tanya besar di pikiran masyarakat dan jajaran stafnya. Seakan yang bisa menjadi jawabannya adalah mereka berpasangan hanya karena tanggung jawab partai, bukan bentuk tanggung jawam sebagai seorang pemimpin. Lagi-lagi, masalah partai adalah hal yang tak akan bisa pernah lepas dari sosok yang diusungnya sebagai pemimpin dan wakilnya. Perasaan timbul hutang atau suatu ikatan agar tetap mematuhi partai walaupun mereka telah menjadi milik rakyat seutuhnya. Masalah partai adalah urusan lain, jangan pernah atau tidak boleh dicampur adukan dengan urusan kepemimpinan yang telah diamanahkan. Kebanyakan saat inil, para pemimpin dan wakilnya selalu bagai sapi yang dicucuk hidunya oleh partai, apapun yang diperintah oleh partai maka harus dilaksanakan, tetapi justru melupakan tanggung jawabnya sebagai pemenuh aspirasi rakyat. Intinya, lupakan sejenak urusan partai jika seseorang terpilih menjadi pemimpin dan wakil pemimpin untuk suatu wilayah tertentu, tetap hanya pikirkan rakyat karena rakyat menaruh harapan pada mereka.
Untuk itu, memang jalan terbaik jika ingin menjadi pemimpin dan wakil pemimpin haruslah berasal dari "atap" yang sama, jika ingin dari partai, maka harus dari partai yang sama. Dukungan dari partai lain sah saja, namun hanya untuk dukungan suara dan perjanjian jabatan, itu hal yang lumrah asalkan tidak ada janji sebagai wakil, karena hal itu bisa menimbulakn reaksi yang alamiah pada saat roda pemerintahan berjalan. Menyatukan visi dan misi bukan hanya sekedar dari calon pemimpin dan wakilnya, namun jika berbeda partai maka akan sama visi misinya akan tetapi tetap berbeda "perintah" dari partainya masing-masing. Ibarat rumah tangga, kesepahaman agama bisa disebut sebagai partai, jika calon suami dan istri berbeda agama mereka bisa tetap disatukan, namun tetap akan menjadi hal yang masing-masing dalam perintah dari agamnya. Hal tersebut pun bisa berakibat menumbuhkan rasa kebingungan dari anaknya, mau kemana atau mau ikut agama mana mereka nantinya? Jika dari usia dini saja hanya ditanamkan dari kedua agama, bukan dari satu agama pasti dari orang tuanya. Sama halnya dengan pemerintahan, jika pemimpin dan wakilnya berasal dari partai yang berbeda, maka jajaran staf dan rakyatnya akan menjadi bingung, sebenarnya mereka pada saat pemilihan lalu itu mendukung manusia atau partai, karena saat sudah terpilih malah pemimpin dan wakilnya malah menjalankan amanah partai, bukan amanah rakyat. Alhasil, akan timbul banyak reaksi, mulai dari rasa curiga dan tidak percaya, hingga maraknya demonstrasi terhadap kinerja pemimpin dan wakil yang memang tidak sejalan sebagaimana mestinya yang diakibatkan berbedanya visi dan misi dari partai pengusung mereka masing-masing.
Teringat baru-baru ini pernyataan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi yang menyatakan bahwa sepertinya memang di Indonesia itu tidak perlu ada wakil pemimpin, karena memang menurut hemat saya, sosok wakil itu hanya bertugas sebagai pengganti dikala sang pemimpin berhalangan untuk hadir dalam suatu acara. Bahkan bisa dibilang sosok wakil adalah hanya bertugas sebagai pemanis dalam jalannya roda pemerintahan, dan lebih parahnya lagi sosok wakil hanyalah penarik suara saat pemilihan berlangsung, karena tak jarang sosok wakil lebih disegani dan lebih berjasa dibanding sosok pemimpinnya. Padahal, jika hanya bertugas sebagai pengganti, hal tersebut bisa dilaksanakan oleh dinas-dinas yang ada kaitannya dengan suatu acara tersebut, misalkan jika ada acara kepemudaan dan olahraga, maka hanya perwakilan dinas olahraga dan pemuda (disorda) pun sudah cukup, bahkan lebih dari cukup karena perwakilan tersebut lebih menguasai tema dari acara itu.
Gamawan Fauzi juga menyatakan bahwa ia pernah menjabat sebagai kepala sekolah, dan ia tidak menunjuk seorang pun untuk menjadi wakilnya, dan roda kepemimpinan pun tetap berjalan lancar. Menurutnya juga, saat ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sedang dalam garapan usulan rancangan undang-undang tentang jabatan dalam sebuah kepemimpinan, seperti dalam lingkup bupati, walikota dan gubernur. Hal tersebut sedang diupayakan oleh Kemendagri kepada DPR RI dan berharap usulan tersebut bisa dikabulkan.
Semoga saja hal tersebut bisa segera direalisasikan oleh DPR, agar bisa meminimalisir timbulnya aksi-aksi anarki dari pendukung mereka yang telah kecewa dengan kinerja pemimpin karena tidak sesuai dengan rakyatnya. Lagipula jia hal tersebut bisa dilaksanakn, otomatis bisa menghemat APBD untuk menggaji para pejabat setempatnya, kan? Jadi APBD bisa difokuskan untuk pembangunan daerah, bukan lagi dikeluarkan untuk hal yang absurd seperti untuk menggaji wakil pemimpin. Karena jumlah gaji seorang wakil tidak terlalu sebanding dengan kinerjanya yang hanya sebagai wakil.
*Terinspirasi dari tayangan talkshow 811 Show Metro TV pada Kamis, 21 Maret 2013 dengan narasumber Gamawan Fauzi (Mendagri) dan J. Kristiadi (Pengamat Politik CSIS) yang membahas tentang dilema kinerja wakil pemimpin suatu daerah.