Sumber gambar: Wikipedia |
Dalam
mitologi Yunani, banyak dikenal dewa dan dewi dengan segala kekuatan
spesialisnya, yang paling tersohor adalah Zeus, dewa dari segala dewa. Pada
suatu masa, Zeus memerintahkan dewa pencipta, Hephaestus, untuk menciptakan
sosok wanita pertama, kemudian terciptalah Pandora. Sebagai hadiah, Zeus
memberikan sebuah kotak kepada Pandora, namun melarang keras membukanya dalam
kondisi apapun. Seiring berjalannya waktu, Pandora semakin merasa penasaran
dengan isi kotak tersebut, hingga sampai pada suatu waktu ia membukanya. Dan
yang keluar dari kotak tersebut hanyalah kepulan asap hitam yang langsung
menyelimuti seluruh tempat dan membawa penyakit, hingga isi kotak tersebut
habis dan menyisakan suatu hal yang baru disadari oleh Pandora, ialah sebuah
harapan, yang sebelumnya terkubur paling dalam di bawah kepulan asap penyakit
tersebut.
Kisah kotak
Pandora tersebut memang tersohor dan menjadi banyak ungkapan dalam kehidupan,
terutama yang terkait dengan sebuah bencana, atau kerusakan lainnya. Namun di
balik sebuah bencana, masih ada secercah harapan untuk bisa kembali memulai
segala hal dari awal dengan baik. Begitu juga jika dikaitkan dengan perusahaan
yang ingin menjalankan program pengembangan bagi karyawannya. Untuk
meningkatkan kompetensi karyawan -apalagi dalam jumlah besar- pasti membutuhkan
banyak pengorbanan. Sebut saja biaya yang besar, jam kerja yang harus berkurang
karena program pengembangan, dan tentunya spekulasi atas kesuksesan program
pengembangan sesuai dengan harapan manajer puncak.
Human resource
development: pot of gold, or chasing rainbow? –Millmore, et al, 2007.
Persepsi
skeptis terhadap pengembangan karyawan hanya sebagai kotak pandora juga harus
dihadapi dengan keseriusan divisi pengembangan dan manajer puncak, harus bisa
membuktikan kesuksesan program yang dijalankan. Hal ini bisa dilakukan jika
divisi pengembangan menyelenggarakan program yang sesuai dengan kebutuhan
karyawan dan kebutuhan organisasi, baik secara kecil ataupun besar.
Bohlander &
Snell (2013) menyatakan ada 4 tahap dalam pengembangan karyawan. Tahap pertama
adalah identifikasi kebutuhan pelatihan yang dilakukan dengan memetakan
kebutuhan karyawan terhadap sebuah pengembangan, termasuk juga memetakannya
melalui tanggung jawab pekerjaan atau kebutuhan perusahaan. Sebagai contoh,
pernah dilakukan identifikasi kebutuhan berdasarkan tanggung jawab pekerjaan
untuk karyawan Departemen Commercial di PT Kansai Prakarsa Coatings. Hal ini
dilakukan dengan mengidentifikasi knowledge, skill, dan attitude (KSA)
tiap jabatan yang ada di Departemen Commercial. Hasil akhirnya adalah kebutuhan
pelatihan untuk meningkatkan KSA dari tiap jabatan. Contoh lainnya adalah
mengidentifikasi kondisi aktual dan harapan para pegawai fungsional di sebuah
badan pemerintahan mengenai kondisi sistem MSDM yang ada, salah satunya adalah
sistem pendidikan dan pelatihan (diklat). Dari hasil identifikasi ditemukan
bahwa pegawai fungsional condong lebih menginginkan pelatihan yang sifatnya pengembangan
keahlian teknis dan kemampuan manajerial. Maka selanjutnya bisa diusulkan
kepada badan diklat untuk memberikan pengembangan sesuai harapan pegawai
fungsional.
Tahap kedua
merupakan tindak lanjut dari tahap identifikasi kebutuhan pelatihan yang sudah
dilakukan, yakni perancangan model pelatihan yang akan dilaksanakan. Proses
perancangan ini meliputi penentuan fasilitator, metode, dan konten dari program
pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan dari karyawan. Setelah
itu masuk kepada tahap ketiga, tahap pelaksanaan. Tahap ini bisa berupa
penugasan lapangan (assignment), metode ini cocok dilakukan untuk
pekerjaan yang berhubungan langsung dengan pelanggan, seperti customer
service, koki restoran, teknisi, dan lain sebagainya. Atau metode lainnya
adalah dalam bentuk kaderisasi seperti dalam program succession
planning, di mana si trainee akan lebih belajar dari hal
yang praktis (seperti pada tulisan sebelumnya: https://www.linkedin.com/pulse/talent-management-la-sinister-2-abdus-somad).
Tahap keempat adalah evaluasi, di mana akan diukur dari aspek reaksi,
pembelajaran, perilaku, hasil, dan perhitungan investasi.
Pengukuran
tingkat reaksi dan pembelajaran sudah lumrah dilakukan untuk program
pengembangan di dalam kelas (in-class training). Sedangkan perilaku
dirasa sudah menjadi standar perusahaan dalam mengevaluasi program
pengembangan, membandingkan penilaian perilaku kerja sebelum dan setelah
menerima program. Sebagai satu contoh, di sebuah badan pemerintahan, pegawai
fungsional pada umumnya dinilai melalui form Sasaran Kinerja Pegawai (SKP),
termasuk di dalamnya adalah perubahan perilaku kerja pasca-pelatihan. Tingkat
yang lebih tinggi adalah evaluasi hasil, di mana perusahaan akan melihat
pencapaian suatu unit atau organisasi setelah memberikan pengembangan kepada
karyawannya. Terakhir, tingkat tertinggi dalam evaluasi pengembangan adalah
dengan menghitung “balik modal” atau biasa disebut sebagai return on
training investment (ROTI) dari biaya yang telah dikeluarkan
untuk pengembangan , dengan pendapatan operasional perusahaan setelah
dilakukannya pengembangan karyawan. Metode ini diterapkan oleh perusahaan yang
sudah menganut MSDM-nya dengan istilah human capital (HC), di
mana segala bentuk pengelolaan SDM-nya adalah bentuk investasi bagi perusahaan.
Kesimpulannya,
program pengembangan karyawan yang dilakukan oleh perusahaan memang terkadang
dianggap sebagai aktivitas menghamburkan biaya, jika memang sebelumnya terjadi
“Kotak Pandora” sehingga menimbulkan trauma. Tapi seperti yang dikisahkan dalam
mitologi, di dasar kotak masih ada secercah harapan yang tertinggal. Tinggal
bagaimana perusahaan mampu mengelola harapan yang ada, harapan bagi perusahaan,
maupun harapan yang ada di dalam benak karyawannya, sehingga misi pengembangan
menjadi sejalan. Tidak lagi pengembangan karyawan hanya menimbulkan kerugian
yang signifikan bagi perusahaan, namun bisa menutup kotak pandora dan
menggantinya dengan pot of gold yang bersifat jangka panjang.